Oleh : H.Dudung A.Sani,SH.M.Ag
Tim Lawyer Pers Majalah CEO
Indonesia Kalimantan Selatan.
Mencermati tuduhan terhadap Syaifullah Effendi, S.AP bin H.Abdullah Karim yang disangka Melanggar Pasal 188 jo Pasal 71 ayat (1) UU No.6 Tahun 2020 Tentang Penerapan Perpu No.2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No.1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Perpu No.1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati Dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
Kehadiran Camat di dalam acara paslon nomor 1 adalah dalam rangka untuk menghimbau masyarakat untuk menjaga tata tertib dimasyarakat, menganjurkan masyarakat untuk mematuhi protokol kesehatan dan mengingatkan paslon yang sedang berkopetisi sebagai calon kandidat Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Banjar Martapura (Kal-Sel) adalah sangat erat hubungannya dengan tugasnya sebagai penguasa wilayah Kecamatan sebagaimana diatur di
dalam PP No.17 Tahun 2018 :
Tugas Camat adalah memimpin Kecamatan menyelenggarakan urusan pemerintahan umum di tingkat Kecamatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur pelaksanaan urusan pemerintahan umum mengkoordinasikan kegiatan dan mengkoordinasikan upaya penyeleggaraan ketentraman dan ketertiban umum.
Dan Kami memandang penerapan pasal terhadap Syaifullah Effendi adalah sangat keliru bilamana didakwa melanggar Pasal 71 ayat (1) UU No.10 Tahun 2016 yang isinya sebagai berikut :
Pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/POLRI dan Kepala Desa / Lurah dilarang membuat keputusan atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.
Menyatakan penerapan Pasal 71 ayat 1 UU No.10 tahun 2016 adalah salah kamar dan terkesan sangat dipaksakan oleh pihak bawaslu dan JPU karena Pasal ini secara filosofis bukan ditujukan kepada ASN yang berprofesi sebagai camat tetapi ditujukan kepada petahana karena di dalam pasal tersebut memuat rangkaian unsur subjektif dan unsur perbuatan. Yang dimaksud unsur subjektif adalah membuat suatu keputusan sedangkan unsur perbuatannya adalah menguntungkan dan merugikan bagi pasangan calon
Kalau kalimat membuat ” keputusan ” ditujukan kepada camat adalah tidak relafan karena camat bukan calon kandidat yang berprofesi sebagai petahana, begitu pula dengan kalimat ” yang menguntungkan dan merugikan ” semakin tidak tepat karena maksud menguntungkan dan merugikan disini tidak dapat diasumsikan sebagai perbuatan camat sewaktu menghibau masyarakat untuk menjaga ketertiban pada saat pilkada, menganjurkan masyarakat untuk mematuhi protokol kesehatan dan memberi nasihat kepada calon kandidat agar memperhatikan infra struktur kecamatan aluh-aluh yang dinilai masih terbelakang
Unsur menguntungkan dan merugikan dalam pasal 71 ayat (1) masih tidak jelas toluk ukur perbuatannya
Didalam penjelasan UU No.10 tahun 2016 Pasal 71 ayat (1) yang dimaksud dengan ” Pejabat Negara ” sebagaimana diatur dalam UU yang mengatur mengenai ASN dan yang dimaksud ” Pejabat daerah ” adalah sebagaimana diatur dalam UU yang mengatur tentang pemerintahan Daerah
Kalau dicermati lagi di dalam pasal 71 ayat (2) berbunyi : Gubernur dan Wakil gubernur, Bupati dan Wakil bupati, Walikota dan Wakil walikota dilarang melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri
Dijelaskan dalam pasal ini yang dimaksud dengan ” penggantian ” adalah hanya dibatasi untuk mutasi dalam jabatan.
Pasal 71 ayat (3) Gubernur dan Wakil gubernur, Bupati dan Wakil bupati, Walikota dan Wakil walikota dilarang menggunakan kewenangan, program dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik didaerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih
Kemudian di dalam Pasal 7 ayat (4) ditegaskan dalam Undang – Undang ini maksud Pasal 71 ayat (1) sampai dengan ayat (3) berlaku untuk pejabat Gubernur atau pejabat Bupati/Walikota
Pasal 71 ayat (5) lebih jelas lagi disebutkan dalam hal gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, walikota dan wakil walikota SELAKU PETAHANA melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) petahana tersebut dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten / Kota
Pasal 71 ayat (6) Sanksi sebagaimana ayat (1) sampai ayat (3) YANG BUKAN PETAHANA diatur sesuai peraturan perundang – undangan yang berlaku
Mencermati dari Pasal 71 ayat (6) tersebut bawaslu dan pihak kepolisian diduga keliru menetapkan tuduhan terhadap camat Syaifullah Effendi dengan pasal 71 ayat (1) dengan sanksi pidana Pasal 188 UU No.1 Tahun 2015 jo Pasal 71 ayat 1 UU No.10 Tahun 2016 tentang penetapan Perpu No.1 tahun 2014 tentang pemilihan gubernur bupati, walikota menjadi Undang-Undang.
Menurut pendapat kami maksud Pasal 71 ayat (6) YANG BUKAN PETAHANA diatur menurut PP No.53 Tahun 2010 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil sebagaimana Pasal 4 ayat (15) PP No.53 Tahun 2010 tentang larangan bagi PNS
PNS dilarang Memberikan dukungan kepada calon kepala daerah/ wakil kepala daerah dengan cara:
(a). terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah;
(b). menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan kampanye;
(c). membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye; dan/atau
(d). mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat.
Bagi PNS yang memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah atau calon Wakil Kepala Daerah, dengan cara menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan kampanye;
Membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye.
“Penjatuhan hukuman disiplin oleh pejabat yang berwenang menghukum dilaksanakan sesuai dengan tata cara yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor: 53 tentang Disiplin PNS dan Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor: 21 Tahun 2010 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS
Tuduhan ‘ hadir ‘ dalam acara kampanye
Tuduhan bawaslu dan JPU terhadap Camat kalau penekanannya ‘ hadir ‘ dalam acara siraturrahim / kampanye sebagai ASN / PNS adalah tidak tepat semeskali dan harus dikaji terlebih dahulu substansi tujuannya. Seseorang yang hadir dalam acara belum tentu ikut kampanye dan harus dilihat terlebih dahulu sejauhmana keterlibatan ASN/PNS dalam acara itu apakah menunjukkan ketidaknetralan atau tindakannya berakibat dapat merugikan dan menguntungkan salah satu pasangan calon yang sedang berkompetisi ? Kalau demikian penafsirannya maka siapa saja yang hadir diacara tersebut baik Polisi, TNI akan terjerat dalam penafsiran ‘ hadir ‘ dalam acara kampanye, meskipun tujuannya sebagai pengamanan ketertiban area kampanye
Adapun maksud kampanye menurut kamus bahasa Indonesia adalah sebuah tindakan dan usaha yang bertujuan mendapatkan pencapaian dukungan, usaha kampanye bisa dilakukan oleh peorangan atau sekelompok orang yang terorganisir untuk melakukan pencapaian suatu proses pengambilan keputusan di dalam suatu kelompok, kampanye biasa juga dilakukan guna memengaruhi, penghambatan, pembelokan pecapaian.
Dalam sistem politik demokrasi, kampanye politis berdaya mengacu pada kampanye elektoral pencapaian dukungan, di mana wakil terpilih atau referenda diputuskan. Kampanye politis tindakan politik berupaya meliputi usaha terorganisir untuk mengubah kebijakan di dalam suatu institusi.
Menurut Prof.DR.Hadin Muhjad, SH.M.Hum Guru Besar Universitas Lambung Mangkurat Kal-Sel.
Dalam konstruksi Pasal 188 yang menyatakan bahwa pidana itu adalah pelanggaran perbuatan yang termuat dalam Pasal 71, maka jelas kualitas perbuatan yang dilarang dalam Pasal 71 adalah satu kesatuan perbuatan. Dalam Pasal 71 itu ditinjauan dari aspek UU No. 12 Tahun 2011 adalah satu sistem perbuatan dalam satu pasal. Karena satu pasal adalah satu kesatuan perbuatan dan adanya ayat adalah merupakan rincian perbuatan dari satu sistem perbuatan. Sehingga ketentuan Pasal 71 ayat (1) bukanlah berdiri dari atau terpisah dari ayat lain. Dengan kerangka yuridis seperti ini kita dapat masuk memahami Pasal 71 ayat (1).
Pertama tentang unsur keputusan dan/atau tindakan tentu saja akan sama kualitasnya dengan ketentuan ayat (2) dan (3). Jadi keputusan dan/atau tindakan yang dilakukan oleh terdakwa adalah berada dalam ranah kewenangan pemerintahan yang mempunyai akibat hukum yaitu disebutkan akibat hukum menguntungkan atau merugikan pasangan calon (oleh karena itu apa betul perbuatan terdakwa memenuhi unsur ini, kaji lebih mendalam).
Sehingga pembuktian tentang menguntungkan atau merugikan pasangan calon sudah diketahui jika terdakwa dinyatakan salah telah melanggar larangan ini. Persoalannnya apa parameter menguntungkan atau merugikan. Karena terkait dengan pilkada maka sudah dapat dipastikan yang dimaksud dengan menguntungkan dan merugikan adalah perolehan suara. Bagaimana mengetahui telah terbukti menguntungkan dan merugikan tentu pada perhitungan suara. Jika diperhatikan pada ayat (3) jelas disebutkan pada saat penetapan pasangan calon terpilih.
Jika ketentuan Pasal 71 ayat (1) dalam masa kampanye sedangkan pembuktian untuk tindak pidana ada pada masa penetapan pasangan calon terpilih karena memang konstruksi pasal ini menghendaki pada ayat (1) harus diterapkan dulu ketentuan ayat (6) yaitu bila memang terbukti pelanggaran ayat (1) sanksinya adalah sanksi administrasi.
Pembuat UU memang menyadari tentang posisi hukum pidana apabila berdampingan dengan sanksi hukum lain seperti dimaksud dalam hal ini ayat (6) sanksi administrasi, maka UU menghendaki mendahulukan sanksi administrasi baru sanksi pidana sesuai asas ultimum remedium.
Selain itu perhatikan pula asas keadilan, ayat (1) ini bukan pasangan calon tentu kualitas perbuatannya tidak sama dengan kualitas perbuatan pasangan calon yang secara terus menerus berkesinambungan meyakinkan pemilih terhadap dirinya. Jika hanya satu pertemuan saja (itupun patut diuji apakah meyakinkan pemilih) terdakwa dipersamakan dengan pasangan calon yang melakukan upaya meyakinkan pemilih secara terus menerus apakah adil yang kedua apakah terbukti mampu menguntungkan suara. Janganlah kita langsung mempidanakan sesuatu yang sesungguhnya secara logika hukum ditolak kebenarannya berarti hukum telah membuat ketidak adilan.