Oleh : H.Dudung A.Sani, SH.M.Ag
Ketua Koordinator Majalah CEO
Indonesia Perwakilan Kal-Sel.
Sebagai akibat pekerjaan sulit didapatkan pengangguran bertambah dan bidang bisnis ekonomi kelas bawah – menengah dan tingkat atas sudah tertutup oleh mereka yang punya investasi ( modal ) sementara masyarakat kalangan bawah untuk berusaha demi kelangsungan hidup nya sehari – hari menjadi bingung dan mungkin saja disebabkan keterbatasan memiliki ide kreatif usaha atau karena malas berjuang mencari nafkah dengan mengandalkan tenaga dan modal. Akibat kemalasan ini muncullah ide usaha yang gampang dan mudah dilakukan yaitu menjadi ” street beggar ” pengemis jalanan ”
Pengemis adalah orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta dimuka umum dengan berbagai cara dan asalan untuk mengharap belas kasihan orang lain meskipun kalau dilihat dari penampilan nya sulit ditebak kebenarannya apakah mereka itu mengemis disebabkan benar-benar miskin dan tidak dapat berkerja mencari nafkah dengan berbagai kendala atau memang sudah dikehendaki untuk memilih profesi sebagai pengemis atau menggeluti pekerjaan secara praktis tanpa mau berusaha keras dalam profesi
lain untuk mencari nafkah hidup.
Berdasarkan kaca mata ilmu sosial
potret kehidupan para pengemis belum bisa langsung dikategorikan masyarakat miskin.
Pakar ilmu sosial mengatakan bahwa pengemis merupakan akumulasi dan interaksi yang berawal dari kemiskinan, pendidikan rendah serta minimnya keterampilan kerja dan pengaruh lingkungan kultural budaya dan secara umum faktor – faktor penyebabnya digambarkan sebagai berikut :
(1). Masalah kemiskinan (poverty)
Kehidupan yang layak adalah merupakan tujuan awal keinginan manusia sebagai penghuni dunia sehingga mereka berupaya untuk mencari titik temu kelayakan hidup dengan berbagai cara demi kelangsungan hidup normal.
Akan tetapi ketika mereka tak mampu lagi mengembangkan kehidupan secara normal karena keterbatasan dan sebab musabab lain muncullah kemiskinan dan oleh sebab kemiskinan inilah alternatif mereka menjadi pengemis.
(2). Maslah Pendidikan (education)
Pada umumnya diasumsikan tingkat pendidikan pengemis relatif rendah sehingga faktor pendidikan ini yang menyebabkan ia tidak mampu bersaing untuk memperoleh suatu pekerjaan yang layak dan akibatnya mereka tidak dapat memenuhi tuntutan hidup keluarga.
Meskipun demikian faktor pendidikan ini bukan sebagai prioritas utama tetapi hanya sebagian saja dan tidak dapat dijadikan toluk ukur mereka menjadi pengemis karena masih banyak orang yang sukses dengan berlatar belakang pendidikan rendah.
(3). Masalah keterampilan kerja
(job skills)
Memiliki keterampilan kerja adalah sangat penting sekali untuk menyikapi ekonomi yang merosot turun saat ini karena ide kreatif dan ketrampilan kerja adalah salah satu faktor untuk menciptakan lapangan kerja sendiri sehingga keterbatasan untuk bersaing memperoleh kehidupan yang layak dapat diantisipasi
(4). Masalah sosial budaya (socio-
cultural)
Sosial budaya adalah segala hal yang dicipta oleh manusia dengan pemikiran dan budi nuraninya untuk dan atau dalam kehidupan bermasyarakat. Atau lebih singkatnya manusia membuat sesuatu berdasar budi dan pikirannya yang diperuntukkan dalam kehidupan bermasyarakat.
Menurut pendapat pakar ada
beberapa faktor yang mengakibatkan seseorang menjadi pengemis.
(a). Rendahnya harga diri (low self-esteem)
bahwa harga diri adalah satu bagian dari hirarki kebutuhan manusia. Harga diri ini kalau bersinergi dengan budaya malu maka akan terjadi kontrol yang dapat menghindarkan perbuatan-perbuatan yang melanggar aturan norma-norma kehidupan masyarakat. Manusia yang memiliki budaya malu akan membangkitkan etos kerjanya dengan upaya dan ikhtiar sendiri tanpa harus berharap belas kasihan orang lain sepanjang ia mampu berkerja untuk memenuhi tuntutan kehidupannya
(b) . Sikap pasrah pada nasib
(resignation to fate)
Sikap pasrah kepada nasib adalah suatu sikap keputusasaan atau rendahnya daya pikir untuk lebih berkembang dan maju ketingkat kehidupan yang lebih baik.
Seseorang yang memiliki sikap pasrah pada nasib (resignation to fate) akan menghilangkan daya pikir positifnya sehingga akan terbentur kepada kesulitan hidup dan mudah terpengaruh kepada suatu perbuatan yang praktis tanpa berpikir layak dan tidaknya terhadap norma-norma kehidupan dimasyarakat.
(H.Dudung A.Sani, SH.M.Ag
Ketua Koordinator Majalah CEO
Indonesia Perwakilan Kal-Sel).